Sambugan |
1. Karakteristik
Responden
Mayoritas responden berumur 20 sampai 29 tahun (43,3%0 dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah lulus SD (31,7%) dan penghasilan keluarga responden terbanyak adalah Rp.400.000,- perbulan atau rata-rata dibawah UMR Jawa Tengah.
2. Praktik perawatan kehamilan
Hampir semua responden menjawab pernah melakukan perawatan kehamilan (96,7%)dengan cara memeriksakan diri ke petugas kesehatan (bidan / dokter) (80%). Sebanyak 20% responden menyatakan tidak melakukan aktivitas seksual pada saat hamil dan 26,7% lainnya menyatakan kadang-kadang.Apabila ada keluhan ketika hamil 41,7% memeriksakan diri ke petugas kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan pemeriksaan kehamilan pada tri-mester pertama sebanyak 48,3%, sedangkan 23,3% lainnya memeriksakan diri dua kali dan sebanyak 13,4% responden memeriksakan kehamilan setiap yang dikarenakan gangguan kehamilan seperti mual dan muntah. Menurut Depkes RI (1998) frekuensi pelayanan ANC yang dianjurkan minimal 4 kali selama kehamilan yaitu: minimal 1 kali pada tribulan pertama, mini- mal 1 kali pada tribulan kedua dan minimal 2 kali pada tribulan ketiga. Sebanyak 36,6% responden melakukan pantang makanan tertentu karena diperkirakan akan mengganggu diri dan janinnya. Hal yang menggembirakan adalah keterlibatan suami dalam periksa kehamilan cukup besar yaitu 76,6%.
3. Praktik Persalinan
Bidan paling banyak dipilih oleh responden sebagai penolong persalinan (63,3%) disusul dengan dukun bayi (18,4%). Beberapa alasan yang dikemukakan oleh responden terhadap penolong persalinan yaitu faktor pengalaman kerja (33,3%), kompeten dalam bidangnya (30%), sedangkan 35% lainnya mempunyai alasan pengalaman pertolongan persalinan sebelumnya, pelayanan lengkap (terutata dukun bayi) dan alasan keterdekatan dengan rumah responden. Lokasi tempat pelayanan (kedekatan dengan tempat tinggal) serta peralatan lengkap dan tenaga trampil merupakan alasan terbanyak mengapa mereka memilih sarana pelayanan. Walaupun ada 43,3% yang menyatakan setuju dilayani oleh dokter / bidan perempuan tetapi ada 50% lainnya yang tidak memasalahkan bila dilayani oleh dokter pria. Hal yang menggembirakan, senada dengan keterlibatan suami dalam periksa kehamilan, hampir semua responden (93,4%) menyatakan suami mereka berpartisipasi dalam menyambut persalinan bayi mereka.
4. Praktik perawatan
nifas
Dalam hal praktek perawatan selama masa nifas (setelah ibu melahirkan sampai dengan sekitar 35- 40 hari) beberapa data dapat dipaparkan. Minum jamu yang merupakan kebiasaan sebagian masyarakat suku Jawa juga dilakukan oleh hampir semua responden saat nifas. Hanya satu orang (1,7%) yang dengan jujur menyatakan melakukan hubungan seksual saat nifas, walaupun ini tidak dianjurkan oleh kesehatan dan juga agama (Islam). Selama masa nifas sebagian responden (41,7%) berpantang mengkonsumsi daging dan ikan. Pijat badan untuk mengembalikan kebugaran tubuh setelah bersalin dilakukan oleh 83,3% responden.
5. Deskripsi kondisi sosial budaya
setempat
Masyarakat memiliki kebudayaan yang mencakup aturan – aturan, norma – norma, pandangan hidup yang dijadikan acuan dalam mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat. Pada masyarakat Jawa yang menganut pola garis keturunan patrilineal maka dalam adat kebiasaan keluarga, peranan suami / ayah sangat berpengaruh. ayah / suami sebagai kepala rumah tangga adalah perantara dalam penentuan nasib termasuk yang menguasai sumber-sumber ekonomi keluarga (Herkovits dalam Susilowati, 2001).
Dalam masyarakat Jawa, kehamilan (dan kemudian
kelahiran bayi) merupakan peristiwa yang penting dalam siklus hidup manusia.
Oleh karena itu ibu dan keluarga melakukan serangkaian aktivitas ritual untuk
menyambutnya. Faktor kekerabatan (suami, orang tua, nenek) masih memberikan
peran yang penting dalam tindakan-tindakan si ibu berkaitan dengan kehamilan,
persalinan dan pasca persalinan, baik dalam memberikan nasehat (karena mereka
sudah berpengalaman menjalani peristiwa tersebut) maupun pengambilan keputusan
siapa penolong persalinan dan sarana pelayanan apakah yang akan
dipergunakan.
Selama kehamilan, biasanya ibu akan melakukan berbagai upaya agar bayi dan ibunya sehat dan dapat bersalin dengan selamat, nor- mal dan tidak cacat. Sebagian masyarakat masih berpantang makan makanan tertentu seperti udang atau kepiting dan buah nanas, walaupun menurut kesehatan pantangan makanan tertentu tidak dibenarkan apalagi kalau makanan tersebut bergizi. Selama kehamilan juga ada pantangan yang harus diperhatikan ibu dan bapak misal: tidak boleh menyiksa atau membunuh binatang dan tidak boleh mengejek orang yang cacat supaya si bayi dapat lahir dengan selamat dan tidak cacat. Terutama keluarga dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, seiring dengan kemajuan jaman sudah banyak yang tidak mempercayainya begitu juga dengan sebagian responden penelitian.
Informan/ responden dari tokoh masyarakat, tokoh
agama dan PLKB menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat
masih memperingati upacara 7 bulan bayi dalam kandungan khususnya bagi anak
pertama, termasuk sebagian besar responden ibu yang telah diwawancarai. Di
daerah lain pada suku Jawa upacara tersebut disebut mitoni, sedangkan
di Kabupaten Jepara disebut munari. Munari merupakan upacara selamatan
dengan nasi tumpeng yang puncaknya adalah nasi ketan berwarna
kuning yang diibaratkan cahaya sebagai simbol bahwa pada usia kehamilan ketujuh
si janin sudah mempunyai roh atau nyawa. Acara munari ini seringkali dilengkapi
dengan upacara seperti halnya mitoni yaitu si ibu ganti kain tujuh kali,
memecahkan kelapa gading yang berukir gambar tokoh wayang Dewa Kamajaya dan Dewi
Kamaratih (dua dewa / dewi dalam pewayangan yang terkenal ketampanan dan
kecantikannya) dengan harapan si bayi nantinya akan tampan seperti Dewa Kamajaya
dan cantik seperti Dewi Kamaratih. Upacara ini seringkali
dipimpin oleh dukun bayi atau orang yang dituakan di dalam keluarga tersebut. Di
dalam upacara tersebut suami harus terlibat dalam rangkaian upacara.
Keterlibatan/ partisipasi suami
selama masa kehamilan istri cukup besar baik dalam bentuk aktivitas mengantar
istri memeriksakan kandungan ke bidan / dokter, berusaha memenuhi keinginan
istri yang sedang nyidam maupun mengingatkan agar istrinya lebih banyak makan
makanan yang bergizi. Para suami terutama yang berpendidikan cukup tinggi
cenderung melarang bila istrinya berpantang makanan tertentu. Menurut pandangan
mereka, sepanjang yang dimakan ibu hamil memenuhi kriteria sehat dan bergizi
baik untuk ibu dan bayi maka tidak dibenarkan untuk berpantang walaupun pada
masyarakat sekitar masih berlaku pantangan makan makanan tertentu atau
bertingkah laku tertentu pada saat istrinya hamil.
Muis (1996) dalam penelitiannya di Kota Semarang
menyebutkan bahwa para orang tua/ mertua sangat berperan dalam menentukan,
menasehati dan menyarankan anaknya/ menantunya untuk periksa hamil pada bidan
atau memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan. Sutrisno
(1997) dalam penelitiannya di Kabupaten Purworejo juga mengungkapkan bahwa
suami, orang tua dan mertua adalah anggota kelompok referensi yang paling sering
memberikan anjuran memilih tenaga penolong persalinan.
Susilowati (2001) dalam penelitiannya di Kabupaten Semarang
juga menemukan bahwa suami sangat dominan dalam pengambilan keputusan rumah
tangga sehari-hari, tetapi dalam menentukan penolong persalinan dan tempat
bersalin yang dominan adalah orang tua dan mertua. Pada saat menghadapi masalah
medis persalinan masih diperlukan musyawarah keluarga untuk merujuk ibu bersalin
ke rumah sakit.
Menurut responden tokoh masyarakat dan tokoh
agama, kelahiran bayi adalah suatu peristiwa yang perlu dirayakan dengan upacara
tertentu. Masyarakat Kabupaten Jepara yang mayoritas beragama Islam biasa
melakukan serangkaian acara mulai dari pembacaan adzan pada telinga
kanan bayi sesaat setelah kelahirannya, dilanjutkan dengan pencucian plasenta
bayi atau ari-ari, diberi doa dan dan dimasukkan dalam
wadah tertutup dari tanah liat dan diberi kembang telon (bunga tiga
warna) dan dikuburkan di depan rumah/ teras serta diterangi
sentir/ teplok (lampu minyak) pada malam
hari. Pelaku dari semua upacara ini adalah suami dari istri yang baru saja
melahirkan. Berdasarkan pengamatan di depan rumah beberapa rumah responden ,yang
kebetulan baru beberapa hari melahirkan, terdapat gundukan tanah yang ditutupi
dengan pagar dari bambu dan diberi lampu minyak dan mereka menjelaskan bahwa
plasenta bayi telah mereka kuburkan di situ.
Di daerah Jepara dikenal upacara krayanan
atau brokohan atau selapanan yaitu upacara pada saat bayi
berusia 35 hari untuk memberi nama bayi dengan cara berdoa bersama dan
bancakan atau selamatan dengan nasi urap / sego gudangan rambanan
reno pitu . Bersamaan dengan upacara krayanan tersebut juga diadakan
upacara adat walikan atau resikan. Upacara
ini lebih ditujukan untuk si ibu bayi karena sudah selesai menjalani masa nifas
dan siap untuk melayani suaminya kembali. Pada saat selamatan itu si ibu dirias
secantik mungkin. Di dalam upacara ini kehadiran dukun bayi juga penting,
terutama bila mereka yang menolong kelahiran bayinya.
Menurut responden, dukun bayi
dirasakan mempunyai beberapa kelebihan disbanding bidan / dokter yaitu dukun
bayi mampu memberikan pelayanan yang paripurna mulai dari menolong persalinan
sampai memimpin upacara kelahiran bayi. Dukun bayi juga siap setiap saat
dibutuhkan, memberikan rasa nyaman dan aman karena mereka kebanyakan dituakan,
begitu juga hubungan kekeluargaan membuat kehadiran dukun bayi dalam hal
tertentu sulit digantikan oleh bidan. Kepala Puskesmas dan
bidan serta PLKB yang diwawancarai menyadari bahwa dukun bayi
masih dibutuhkan oleh masyarakat, oleh karena itu program pelatihan dukun bayi
dan pembinaan serta pendampingan oleh bidan Puskesmas merupakan program yang
terus dijalankan. Di sisi lain mereka mengupayakan peningkatan peran bidan dan
bidan di desa (BDD) tetapi mengusahakan agar tidak lahir dukun bayi baru karena
adanya target cakupan tertentu dari ANC dan persalinan oleh
tenaga kesehatan serta eliminasi tetanus neonatorum (ETN) yang
harus diupayakan menjadi angka nol. Pemotongan dan perawatan tali pusat yang
tidak bersih dan steril merupakan salah satu penyebab utama adanya tetanus
neonatorum. Dukun yang belum dilatih seringkali melakukan
pemotongan dan perawatan tali pusat secara tidak higienis seperti diberi kunyit
atau apu (kapur gamping yang basah), tetapi saat ini hal tersebut
hampir tidak pernah ditemui karena semua dukun bayi di desa lokasi penelitian
sudah dilatih oleh Puskesmas.
Nuansa Islam yang cukup kuat mewarnai adat dengan
adanya upacara kekahan atau aqiqah yaitu ungkapan rasa
bersyukur pada Tuhan YME atas anugerah anak dan sebagai salah satu kewajiban
orang tua dalam ajaran Islam terhadap anaknya. Pada acara kekahan ini untuk anak
laki-laki akan disembelih dua ekor kambing, sedangkan bila anak perempuan cukup
satu ekor kambing. Daging yang sudah dimasak dibagikan kepada para tamu dan
tetangga.Adat kekahan tidak mesti harus segera dilakukan setelah bayi lahir
tetapi bisa sampai dengan menjelang remaja. Kekahan biasanya dilakukan oleh
keluarga yang cukup mampu.
Perilaku positif lainnya yang masih dijalankan
seperti halnya kebiasaan para ibu dari suku Jawa setelah melahirkan yaitu
kebiasaan minum jamu dengan tujuan agar ASI mereka lancar serta
untuk menjaga kesehatan dan kebugaran ibu. Jamu wejah diminum agar ASI
lancar dan jamu beras kencur agar badan tidak terasa capek dan jamu
pilis yang ditempelkan di dahi agar kepala terasa ringan dan tidak
pusing. Selama masa nifas ada pantangan berhubungan seksual. Hal positif ini
sejalan dengan kesehatan dan larangan dalam agama Islam yang mayoritas mereka
anut.
Perilaku yang kurang mendukung selama masa nifas yaitu pantang makanan tertentu yang lebih dikaitkan
dengan si bayi antara lain agar ASI tidak berbau amis antara lain daging dan
ikan laut. Kebiasaan kurang baik lainnya yang masih ada yaitu bayi digedhong
atau membungkus bayi dengan jarik (kain batik pelengkap busana
kebaya) agar bayi hangat dan diam. Bila hal ini dilakukan terus menerus akan
berpengaruh pada aktivitas bayi dan pertumbuhan tulangnya.
Apabila bayi lahir cacat (bibir sumbing) atau bayi
lahir dengan sungsang yang dahulu seringkali dikaitkan dengan kesalahan masa
lalu orang tuanya atau orang tuanya melanggar pantangan tertentu maka sebagian
besar responden menganggap hal tersebut tidak benar. Bayi lahir sungsang atau
bibir bayi sumbing mereka percayai semata-mata karena masalah kesehatan.
SIMPULAN
Praktik perawatan kehamilan, persalinan bayi dan nifas di lokasi penelitian telah banyak mendukung upaya kesehatan reproduksi antara lain: periksa hamil. Bidan adalah pilihan pertama sebagai penolong persalinan tetapi dukun bayi juga masih diminati. Peran suami cukup menonjol dalam masa kehamilan, persalinan bayi dan nifas. Tradisi budaya Jawa seperti minum jamu, pantang makanan tertentu, pijat untuk kebugaran ibu setelah melahirkan masih mereka jalankan. Nuansa budaya Jawa tercermin pada berbagai ritual budaya yang diwarnai oleh agama (Islam) yaitu mulai dari mitoni (munari), krayanan (brokohan),resikan (walikan) dan kekahan (aqiqah).
Masih diperlukan KIE (Komunikasi, Informasi,
Edukasi) yang terus menerus yang bertujuan untuk mempertahankan
praktek yang positif dan mengurangi/ menghilangkan pemahaman nilai-nilai yang
tidak mendukung kesehatan reproduksi.
|
tulisan ini juga bisa anda lihat di blog saya yang lain (klik) |
Kamis, 10 Januari 2013
Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan dan Persalinan (2)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar